11/30/2011 07:20:00 am
0
Manusia, Alam Semesta dan Agama

1.1.1 Manusia dan Alam Semesta

Ada banyak pendapat yang mendefinisikan “pengertian manusia”. Misalnya, para penganut teori psikoanalisis menyebut manusia sebagai homo volens (manusia berkeinginan). Menurut aliran ini, manusia adalah makhluk yang memiliki prilaku hasil interaksi antara komponen biologis (id), psikologis (ego), dan sosial (superego). Selain itu, menurut aliran ini juga, di dalam diri manusia terdapat unsure animal (hewani), rasional (akal), serta moral (nilai). Manusia selalu dan akan terus berinteraksi dengan lingkungan serta memikirkan alam semesta. Hal ini telah dimiliki sejak sebelum Masehi, contohnya Thales (625-547SM) menduga bahwa alam raya ini berasal dari air, Anaximandorus (585-528 SM) yang menyatakan bahwa alam ini berasal dari sesuatu yang bernama “apeiron” yaitu sesuatu yang tidak dapat dirupakan dengan apapun didunia ini.Selain itu, Herahlitos (540-480SM) menyatakan bahwa unsur asal alam adalah api yang memiliki sifat dinamis, karena alam ini tidak ada yang tetap, semuanya bergerak dan terus bergerak.

Diawal abad ke-19 penyelidikan tentang asal mula alam raya bergerak dari pemikiran filsafat yang bersifat spekulatif menuju pemikiran ilmiah yang factual seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan. Sampai saat ini, pergumulan antara pro dan kontra tentang asal usul manusia terus berlangsung. Kehadiran manusia yang pertama tidak terlepas asal usul kehidupan di alam semesta ini. Asal usul manusia menurut ilmu pengetahuan tidak bisa dipisahkan dari teori tentang spesies baru yang berasal dari spesies lain yang telah ada sebelumnya melalui proses evolusi. Teori evolusi yang diperkenalkan Darwin pada abad XIX telah menimbulkan kepanikan apalagi setelah teori ini diekstrapolasikan oleh para penganutnya sedemikian rupa sehingga seolah-olah manusia itu berasal dari kera. Padahal Darwin tidak pernah mengemukakan hal itu, walaupun Taksonomi manusia (familia hominidae) dan kera besar (familia pongidae) berada pada super famili yang sama, yaitu hominoidae. Sejak itulah, pergumulan antara yang pro dan kontra tentang asal usul manusia terus berlangsung hingga kini.

[Selebihnya...]

Dengan demikian, jelas bahwa manusia sebagai salah satu makhluk yang hidup di muka bumi memiliki karakter yang paling unik. Letak perbedaan yang utama antara manusia dengan makhluk lainnya terletak pada kemampuannya melestarikan kebudayaan.

1.1 Manusia, Alam Semesta dan Agama

1.1.2 Manusia Menurut Agama Islam

Manusia dalam bahasa Arab disebut khalaqa(yang diciptakan). Dalam al-Qur’an, kejadian manusia telah diatur dalam surat al-mukmin 67. Dalam surat ini dijelaskan bahwa kejadian manusia itu melalui beberapa tahap, yaitu:

ahap I : nutfah (sperma) laki-laki + 40 hr

tahap II : alaqah (segumpal darah) + 40 hr

tahap III : mudqoh (segumpal daging) + 40 hr

tahap IV : manusia + 120 hr ditiupkan ruh

Manusia menurut agama Islam dapat dipandang dari beberapa segi, yaitu:

a. Penyebutan nama

b. aspek hisoris penciptaan

c. komponen biologis

d. Reproduksi

e. Ruh dan naps

f. Fitrah manusia

g. Karateristik manusia

h. misi dan fisi penciptaan manusia

Keterangan:

a. Istilah penyebutan nama dapat dilihat dari aspek:

· aspek penciptaannya disebut bani Adam

· aspek biologis kemanusiaan disebut basyar (butuh makan, minum, nafsu)

· aspek sosiologis disebut annas (membutuhkan orang lain)

· aspek kecerdasan disebut insane (punya akal à mengembangkan potensi)

· aspek posisinya disebut abdun à hamba à yang diciptakan

b. Aspek histories penciptaan

al-qur’an tidak merincikan secara kronologis penciptaan manusia menyangkut waktu dan tempatnya. Namun al-qur’an menjelaskan jawaban yang sangat penting dari titik manakah kehidupan itu bermula. Kehadiran manusia sebagai makhluk bumi ditegaskan dalam ayat (Nur, 71: 17-18), yang artinya “ Dan Allah menimbulkan kamu sebagai suatu tembusan dari tanah (bumi) dan kemudian Dia akan menyembahkan kamu kepada-Nya. Dia menyatakan akan mengeluarkan kamu lagi sebagai suatu keluaran yang baru”.

c. Komponen biologis

Adapun ayat al-Qur’an yang menyatakan bahwa manusia dapat dipandang dari segi biologis adalah surat Hud 11: 61, yang artinya “Dia telah menyebabkan kamu tumbuh dari bumi”. Selain itu, ayat lainnya adalah:

1. turaab, yaitu tanah gemuk (al-kahfi, 18:37)

2. tiin, yaitu tanah lempung (as-sajadah, 32:7)
3. tiinul laazib, tanah lempung yang pekat (As-safaat, 37:11)
4. salsalun, lempung yang dikatakaan kalfakhkhar (seperti tembikar)
5. salsalun min hamain masnuun (lempung dari Lumpur yang dicetak/dibentuk, al-hijr 15:26)
6. sulaatun min tiin, yaitu dari sari pati lempung
7. air yang dianggap sebagai asal-usul seluruh kehidupan (al-furgaan, 25-54)

d. Reproduksi

Asal-usul keberadaan manusia dilihat dari sisi reproduksinya banyak sekali dijelaskan dalam ayat-ayat al-qur’an. Misal, surat Al-qiyamah ayat 37, disebutkan bahwa manusia berasal dari nutfatam min maniyyin yumna (setetes sperma yang ditumpahkan). (‘Abasa, 80:19), al-qiyaamah 75:37-38).

e. Ruh dan nafsu

Ruh adalah getaran ilahiah yaitu getaran sinyal Ketuhanan sebagaiman rahmat, nikmat, dan hikmah yang kesemuanya sering terasakan seutuhnya, tetapi sukar dipahami hakikatnya.

Nafsu adalah gejolak. Nafsu dapat dirasakan menyebar keseluruh bagian tubuh manusia karena tubuh manusia merupakan kumpulan dari bermilyar-milyar sel hidup yang saling berhubungan. Nafsu bekerja sesuai dengan bekerjanya sistem biologis manusia.

f. Fitroh manusia : Hanif dan potensi akal, gaib dan nafsu.

Fitroh dapat dikaitkan dengan penciptaan arti rohaniah, yaitu sifat-sifat dasar manusia yang baik.

Hanif mengutamakan kecenderungan kepada kebaikan yang dimiliki manusia karena terjadinya proses persaksian sebelum digelar dimuka bumi.

Potensi akal merupakan potensi pikiran atau rasio.

Gaib berasal dari kata galaba yang berarti berubah, berpindah atau berbalik dan menurut Ibnu Sayyidah berarti hati

Nafsu merupakan suatu kekuatan yang mendorong manusia untuk mencapai keinginannya.

g. Karateristik manusia

Dapat dilihat dari aspek-aspek sebagai berikut:

* Aspek kreasi
* Aspek ilmu
* Aspek kehendak
* Pengarahan akhlak

h. Misi dan fungsi penciptaan manusia

Adapun misi dan fungsi penciptaan manusia adalah untuk penyembahan kepada sang pencipta-Nya, Allah SWT.

1.1 Manusia, Alam Semesta dan Agama

1.1.3 Agama dan Ruang Lingkupnya

Agama merupakan bagian penting dalam kehidupan manusia. Oxford Student Dictionary (1978) mendefinisikan agama (religion) dengan”the belief in the existence of supranatural ruling power the creator and controller of the universe, yaitu suatu kepercayaan akan keberadaan suatu kekuatan pengatur supranatural yang menciptakan dan mengendalikan alam semesta. Dalam bahasa al-qur’an disebut “din” yang diartikan sebagai agama. Kata “din” yang berasal dari akar bahasa Arab din mempunyai banyak arti, yaitu keberhutangan, kepatuhan, kekuasaan, bijaksana, dan kecenderungan alami atau tendensi.

Agama mencangkup tiga persoalan pokok :

1. Akidah berarti keimanan
2. Syariah berarti norma
3. Akhlak berarti perilaku

Dalam bahasa Arab, istilah agama itu dikenal dengan istilah “Dinul Islam (peraturan hidup)”. Sebagai aturan hidup agama dapat ditinjau dari 2 segi, yaitu:

1. sumbernya

· agama wahyu (samawi), yaitu agama yang datang dari Allah diturunkan kepada orang-orang pilihan Allah, dan punya kitab(disebut monotheisme)

· agama ardi/bukan wahyu (agama budaya), yaitu agama yang datang dari seorang yang dianggap baik (disebut politheisme). Misalnya agama konghucu à tidak punya kitab, di India à yang menyembah api, hewan.

2. dilihat dari penyebarannya

* agama missionan à bersifat universal (agama datang dari Allah untuk disebarkan keseluruh manusia).
* agama bukan missiona à tidak universal (penyebarannya untuk kelompok-kelompok tertentu, ex. Agama Kristen katolik + protestan).

1.1 Manusia, Alam Semesta dan Agama

1.1.4 Hubungan Manusia dengan Agama

Sebagaiman yang dipaparkan sebelumnya bahwa agama merupakan peraturan hidup. Agama memasuki pikiran manusia dimulai dalam bidang mistis yaitu kebutuhan manusia dalam hubungannya dengan hal-hal yang bersifat ghaib yang dikaitkan dalam kehidupan sehari-hari. Kebutuhan manusia terhadap agama tidak bisa digantikan dengan kemampuan IPTEK.

2.1 Arti Agama Islam

2.1.1 Pengertian dan Ruang Lingkup Agama Islam

Kata “Islam” menurut bahasa berasal dari kata “aslama” yang berarti tunduk, patuh dalam berserah diri. Selain itu, kata Islam diambil dari kata assilmu dan assalmu yang berarti perdamaian dan keamanan. Pengertian Islam secara terminologis diungkapkan Ahmad Abdullah Almasdoosi (1962) sebagai kaidah hidup yang diturunkan kepada manusia sejak manusia digelarkan ke muka bumi, dan terbina dalam bentuknya yang terakhir dan sempurna dalam al-Qur’an yang suci yang diwahyukan Tuhan kepada Nabi yang terakhir, yakni Nabi Muhammad Ibn Abdullah, satu kaidah hidup yang memuat tuntunan yang jelas dan lengkap mengenai aspek hidup manusia, baik dari segi spiritual maupun segi material. Jadi dapat disimpulkan bahwa Islam adalah agama yang diturunkan allah kepada manusia melalui Rasul-rasul-Nya, berisi hukum-hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Allah, manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam sekitarnya. Hal ini didukung oleh firman Allah dalam al-Qur’an surat (Ali-Imran 3:19): yang artinya “Sesungguhnya agama disisi Allah adalah agam Islam”.

Dalam al-Qur’an, Agama Islam dikenal dengan Dinul Islam, yang berarti Addin dan Islam. Addin berarti: agama, ketaatan, ibadah, dan pembalasan hari kiamat. Sedangkan Islam berarti: selamat, sejahtera, damai, penyerahan diri kepada Allah SWT, jenjang (jalan untuk menjadi orang yang takwa), bersih (tanpa ada noda dimata Allah SWT).

Ciri-ciri Agama Islam

Adapun yang menjadi ciri-ciri agama Islam, yaitu:

1. Sebagai penyempurnaan agama terdahulu

2. Sebagai agama fitroh

3. Sebagai pendorong kemajuan, dan

4. Sebagai pedoman hidup manusia

2.1 Arti Agama Islam

2.1.2 Klasifikasi Agama dan Agama Islam

Pengertian agama wahyu/bukan wahyu sudah dipaparkan pada bab sebelumnya. Letak perbedaan antara agama wahyu dan bukan wahyu adalah:

1. Agama wahyu berpokok pada konsep Keesaan Tuhan sedangkan agama bukan wahyu tidak demikian

2. Agama wahyu beriman kepada Nabi, sedangkan agama bukan wahyu tidak

3. Dalam agama wahyu sumber utama tuntunan baik dan buruk adalah kitab suci yang diwahyukan, sedangkan agama bukan wahyu kitab suci tidak penting

4. Semua agama wahyu lahir di Timur Tengah, sedangkan agama bukan wahyu lahir di luar itu

5. Agama wahyu lahir di daerah-daerah yang berada dibawah pengaruh ras semitik

6. Agama wahyu sesuai dengaan ajarannya adalah agama missionari, sedangkan agama bukan wahyu bukan agama missionari

7. Ajaran agama wahyu jelas daan tegas, sedangkan agama bukan wahyu kabur dan elastis

8. Agama wahyu memberikan arah yang jelas dan lengkap baik aspek spritual maupun material, sedangkan agama bukan wahyu lebih menitikberatkan kepada aspek sprirual saja.

Agama missionari adalah agama yang menurut ajarannya harus disebarkan kepada seluruh umat manusia, sedangkan agama bukan missionari tidak ada kewajiban dalam ajarannya untuk menyebarkan ke seluruh umat.

Dari segi ras geografis, terdiri atas agama semitik, Arya dan Mongolia. Agama semitik pada umumnya adalah agama wahyu, seperti Islam, Nasrani, dan Yahudi. Sedangkan agama non semitik yaitu Arya dan Mongolia bukanlah agama wahyu, seperti Hindu, Budha dan Zoroaster di Mongolia. Agama non semitik dilihat dari ajarannya termasuk agama ras geografis atau agama lokal dan Agama semitik lebih bersifat universal.

2.1 Arti Agama Islam

2.1.3 Agama Islam dan IPTEK

Sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya bahwa agama Islam merupakan agama yang bersumber dari wahyu Allah. Ilmu pengetahuan bersumber dari pikiran manusia yang disusun berdasarkan hasil penyelidikan alam. Ilmu pengetahuan bertujuan mencari kebenaran ilmiah, yaitu kebenaran yang sesuai dengan kaidah-kaidah ilmiah. IPTEK dalam Islam dipandang sebagai kebutuhan manusia dalam rangka mencapai kesejahteraan hidup di dunia dan memberi kemudahan pada peningkatan ubudiyah kepada Allah. Karena itu, Islam memandang IPTEK sebagai bagian dari pelaksanaan kewajiban manusia sebagai makhluk Allah yang berakal.

3.1 Al-Qur’an Sebagai Sumber Nilai

3.1.1 Pengertian dan Nama Al-Qur’an

Al-Qur’an berasal dari kata “qaraa” yang berarti bacaan atau sesuatu yang dibaca. Secara Terminologis, al-Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantaraan Malaikat Jibril.

Nama–nama al-Qur’an, yaitu:

a. al-Qur’an

b. al-furqon (pembeda atau pemisah)

c. azzikra (peringatan)

d. al kitab (tulisan atau yang ditulis)

3.1 Al-Qur’an Sebagai Sumber Nilai

3.1.2 Fungsi dan Peran Al-Qur’an

a. al-Qur’an diturunkan sebagai petunjuk bagi manusia

b. al-Qur’an memberikan penjelasan terhadap segala sesuatu

c. al-Qur’qn sebagai penawar jiwa yang haus.

3.1 Al-Qur’an Sebagai Sumber Nilai

3.1.3 Kodifikasi Al-Qur’an

a. Kodifikasi pada masa Rasulullah

Al-Qur’an diturunkan pada masa Nabi Muhammad. Turunnya al-Qur’an ini secara berangsur-angsur selama 22 tahun 2 bulan 22 hari. Setiap ayat al-Qur’an turun, langsung dihapalkan oleh Nabi dan diajarkan pula kepada para sahabat serta langsung dihapalkan pula oleh mereka. Selanjutnya para sahabat yang hapal al-Qur’an disuruh pula oleh Nabi untuk mengajarkan kepada yang lain.

Pada masa Rasul, para sahabat pun menuliskan ayat yang turun pada alat-alat tulis yang mereka miliki, seperti pelepah kurma, batu-batu tipis, dedaunan, kulit binatang, kemudian disimpan di rumah Rasul. Dengan demikian jelas bahwa kodifikasi al-Qur’an pada dasarnya telah dilakukan pada saat Rasul masih hidup. Pada setiap kali ayat al-Qur’an turun, Nabi memberikan petunjuk kepada para sahabat dan sekretarisnya dalam penyimpanan ayat dan surat dalam susunan ayat-ayat al-Qur’an. Hanya pada masa Rasul pengumpulan al-Qur’an baru dalam bentuk mushaf.

b. Kodifikasi pada masa Para Kholifah

Pada masa kekhalifahan Abu Bakar RA, Umar bin Khattab menyarankan agar al-Qur’an ditulis dan dikumpulkan dalam satu mushaf. Selanjutnya, Abu Bakar memerintahkan Ali bin Abi Thalib, Zaib bin Tsabit, dan Umayah bin Kaat serta Utsman bin Affan untuk menulis dan membukukannya. Khalifah Utsman menggandakan mushaf Al-Qur’an menjadi 5 buah, untuk disebarkan di berbagai daerah dan menjadi rujukan bagi penulisan mushaf selanjutnya.

3.1 Al-Qur’an Sebagai Sumber Nilai

3.1.4 Kandungan Al-Qur’an

Al-Qur’an terdiri dari 114 surat, 6666 ayat, 74437 kalimat dan 325345 huruf. Secara uumum isi kandungan al-Qur’an terdiri atas:

a. pokok-pokok keyakinan atau keimanan yang melahirkan theology atau ilmu kalam

b. pokok-pokok aturan atau hukum yang melahirkan ilmu hukum, syariat atau ilmu fiqh

c. pokok-pokok pengabdian kepada Allah (ibadah)

d. pokok-pokok aturan tingkah laku (akhlak)

e. petunjuk tentang tanda-tanda alam yang menunjukkan adanya Tuhan disini dapat lahir ilmu pengetahuan

f. petunjuk mengenai hubungan golongan kaya dan miskin

g. sejarah para Nabi dan umat terdahulu.

3.1 Al-Qur’an Sebagai Sumber Nilai

3.1.5 Keistimewaan Al-Qur’an

Keistimewaan bahasa al-Qur’an:

a. al-Qur’an menembus seluruh waktu, tempat, dan sasaran

b. al-Qur’an sumber informasi tentang Tuhan, Rasul,dan alam ghaib

c. naskah asli yang terjaga

3.2 As-Sunnah

3.2.1 Pengertian

Sunnah menurut bahasa adalah perjalanan, pekerjaan atau cara. Menurut Istilah, sunnah berarti perkataan Nabi SAW, perbuatan dan keterangannya (taqrir), yaitu sesuatu yang dikatakan atau diperbuat sahabat dan ditetapkan Nabi.

Sunnah dibagi tiga:

a. sunnah qauliyah yaitu sunnah dalam bentuk perkataan atau ucapan Rasulullah SAW yang menerangkan hukum-hukum dan maksud al-Qur’an

b. sunnah fi’liyah , yaitu sunnah dalam bentuk perbuatan yang menerangkan cara melaksanakan ibadah, misal cara sholat

c. sunnah taqririyah adalah ketetapan Nabi, yaitu diamnya Nabi atas perkataan atau perbuatan sahabat; tidak ditegur atau dilarangnya.

3.2 As-Sunnah

3.2.2 Hubungan Antara Al-Qur’an dan As-Sunnah

a. menguatkan hukum yang ditetapkan al-Qur’an

b. memberikan rincian terhadap pernyataan al-Qur’an yang bersifat global

c. membatasi kemutlakan yang dinyatakan oleh al-Qur’an

d. emberikan pengecualian terhadap pernyataan yang bersifat umum

e. menetapkan hukum baru yang tidak ditetapkan oleh al-Qur’an

3.2 As-Sunnah

3.2.3 Perbedaan Al-Qur’an dan As-Sunnah

a. kebenaran al-Qur’an bersifat mutlak (qath’i) hadist bersifat dzanni

b. semua ayat al-Qur’an dijadikan pedoman hidup, sedangkan hadist tidak demikian

c. al-Qur’an autentik sedangkan hadist tidak

3.2 As-Sunnah

3.2.4 Macam-Macam Hadist

Dari segi jumlah orang meriwayatkan, hadist dibagi atas tiga macam:

1. hadist mutawatir
2. hadist masyur
3. hadist ahad

Dari segi kualitas (diterma atau ditolaknya) macam hadist terdiri atas:

1. hadist shahih
2. hadist haram
3. hadist dhaif

3.3 Ijtihad

3.3.1 Pengertian

Ijtihad berarti menggunakan seluruh kesanggupan berfikir untuk menetapkan hukum syara dengan mengeluarkan hukum dari kitab dan sunnah. Orang yang melakukan ijtihad disebut mujtahid.

3.3 Ijtihad

3.3.2 Masalah yang Diijtihadkan

Adalah hukum-hukum syara yang tidak mempunyai dalil qath’i (pasti), bukan hukum-hukum akal dan masalah-masalah yang berhubungan dengan ilmu kalam (aqidah).

3.3 Ijtihad

3.3.3 Macam-Macam Ijtihad

a. Ijtihad Fardhi

b. Ijtihad Jama’i

Dari segi materi, ijtihad terdiri dari:

a. Ijma’

b. Qiyas

c. Istihsan

d. mushalihul mursalah.

3.4 Syarat-Syarat Mujtahid

3.4.1 Syarat-Syarat Mujtahid

a. Mengetahui isi al-Qur’an dan hadist yang bersangkut dengan hukum meskipun tidak hapal di luar kepala

b. Mengetahui bahasa Arab dengan berbagai ilmu kebahasaannya

c. Mengetahui kaidah-kaidah ilmu ushul yng seluas-luasnya

d. Mengetahui soal-soal ijma’

e. dsb.

4.1 Aqidah, Syari’ah, dan Akhlak

4.1.1 Aqidah, Syari’ah, dan Akhlak

Berbicara tentang kerangka dasar agama Islam, tentu akan terkait dengan akidah, syariah, dan akhlak karena ketiga hal itu merupakan unsur pokok yang melandasi kehidupan umat beragaama. Pada umumnya, tiga unsur utama yang terdapat dalam ajaran Islam, yakni ajaran yang berkaitan dengan keyakinan, nilai, norma atau aturan dan perilaku (yang lebih dikenal dengan aqidah, syari’ah, dan akhlak).

Ketiga hal itu dapat dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut:

1. Aqidah atau keimanan, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan keyakinan atau aspek credial atau credo. Aspek ini merupakan bagian yang fundamental. Aspek keyakinan dalam ajaran Islam merupakan pintu masuk ke dalam ajaran Islam dan berpengaruh terhadap seluruh perilaku seorang muslim.

2. Syari’at atau aspek norma atau hukum, yaitu ajaran yang mengatur perilaku seorang pemeluk agama Islam. Aspek hukum ini mengandung ajaran yang berkonotasi hukum yang terdiri atas perbuatan yang wajib, sunnat, mubah, makruh, dan haram.

3. Akhlak atau aspek behavioral, tingkah laku, yaitu gambaran tentang perilaku yang seyogyanya dimiliki oleh seorang muslim dalam rangka hubungan dengan Allah, hubungan dengan sesama manusia, dan hubungan dengan alam.

Ketiga hal di atas tidak dapat dipisahkan satu sama lain, tetapi ketiga hal di atas merupakan aspek yang saling mendukung demi terciptanya umat manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME.

4.1 Aqidah, Syari’ah, dan Akhlak

4.1.2 Agama Islam dan Ilmu-Ilmu Keislaman

Pengertian agama dilihat dari fungsinya sebagai way of life. Kata “agama” berasal dari kata “a” artinya tidak dan “gama” artinya tidak kacau sehingga agama berarti tidak kacau. Sebagaimana yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya bahwa agama merupakan suatu ajaran atau alat untuk mengatur terwujudnya integritas hidup manusia dalam bentuk muamaah ma’a al-Khaliq, ma’a al-nas wa al-‘alam.

Ilmu-ilmu keislaman itu sendiri banyak macamnya, tergantung pada siapa yang memegang ajarannya atau yang mempercayainya. Contohnya, dalam hubungan manusia dengan Allah (ibadat), terdapat empat mazhab popular, yaitu Maliki, Hanafi, Syafii, dan Hanbali. Keempat mazhab ini sangat diyakini dan dilaksanakan oleh mereka-mereka yang meyakini dan menganggapnya paling tepat. Dan meskipun keempat ajaran mazhab ini berbeda-beda tetapi sumber hokum yang berupa al-Qur’an dan hadits tetap dijadikan sandaran yang utama.Selain keempat mazhab ini, masih banyak lagi ilmu-ilmu keislaman lain yang ada dalam ajaran agama, khususnya agama Islam.

4.3 Tasauf, Filsafat, dan Politik Pembaharuan

4.3.1 Tasauf, Filsafat, dan Politik Pembaharuan

Tasauf, filsafat, dan politik pembaharuan juga merupakan bagian dari kerangka dasar agama Islam. Ketiga hal ini sama-sama merupakan pengembangan pemikiran umat Islam karena sama-sama berupaya menggali kebenaran dari sesuatu yang dicari. Kebenaran yang diperoleh ini dapat dijadikan sebagai suatu pegangan atau ajaran yang dapat dilaksanakan demi untuk kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat (tergantung siapa yang memandang). Untuk lebih lanjutnya, dapat dicari informasi-informasi dari berbagai sumber terkait dengan pokok bahasan yang dicari atau dipelajari.

Tugas:

Dalam bab IV ini ada dua tugas yang diberikan kepada mahasiswa. Masing-masing tugas ini disajikan dalam bentuk makalah (kelompok) selama dua kali pertemuan.Tugas itu adalah membuat karya ilmiah yang sesuai dengan pokok bahasan dan sub pokok bahasan yang ada.

5.1 Pengertian dan Ruang Lingkup Syari’ah

5.1.1 Pengertian dan Ruang Lingkup Syari’ah

Syari’ah menurut bahasa berarti jalan, sedangkan menurut istilah adalah sistem norma yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia, dan hubungan manusia dengan alam.

Syari’ah merupakan aspek norma atau hukum dalam ajaran Islam yang keberadaannya tidak terlepas dari aqidah Islam. Itulah mengapa, isi syari’ah meliputi aturan-aturan sebagai implementasi dari kandungan al-Qur’an dan Sunnah. Syari’ah Islam mengatur perbuatan seorang muslim, yang di dalamnya terdapat hukum-hukum sebagai berikut:

1. Wajib, yaitu perbuatan yang apabila dilakukan mendapatkan pahala dan apabila ditinggalkan berdosa

2. Sunnat, yaitu perbuatan yang apabila dilaksanakan diberi pahala, dan apabila ditinggalkan tidak berdosa

3. Mubah, yaitu perbuatan yang boleh dikerjakan atau ditinggalkan karena tidak diberi pahala dan tidak berdosa

4. Makruh, yaitu perbuatan apabila ditinggalkan mendapat pahala, dan apabila dilakukan tidak berdosa.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa syari’ah Islam mengatur semua aspek kehidupan manusia agar seorang muslim dapat melaksanakan ajara Islam secara utuh. Utuh di sini, tidak berarti semua aspek sudah diatur oleh syari’ah secara ketat. Selain itu, hal-hal yang berkenaan dengan kehidupan sosial atau muamalah, syari’ah memberikan landasan hukum yang memberi makna dan arah bagi manusia.

5.2 Fungsi Syari’ah

5.2.1 Fungsi Syari’ah

Adapun fungsi syariah itu adalah:

1. Menunjukkan dan mengarahkan pada pencapaian tujuan manusia sebagai hamba Allah

2. Menunjukkan dan mengarahkan manusia pada pencapaian tujuan sebagai khalifah Allah

3. Membawa manusia pada kebahagiaan hakiki dunia dan akhirat

5.3 Syari’ah dan Fikih

5.3.1 Syari’ah dan Fikih

Sebagaimana yang dipaparkan sebelumnya bahwa syari’ah merupakan suatu hukum yang mengatur kehidupan manusia di dunia dalam rangka mencapai kebahagiaannya di dunia dan di akhirat. Fikih berisi peraturan-peraturan pelaksanaan yang memberi pegangan dan pedoman dalam berperilaku. Jadi dapat dikatakan bahwa fikih merupakan operasionalisasi hukum syari’ah berdasarkan al-Qur’an dan sunnah. Kedua hal ini tidak dapat dipisahkan atau berdiri sendiri karena kedua hal ini merupakan suatu aturan atau hukum yang mendukung satu sama lain.

5.4 Ibadah

5.4.1 Ibadah

Sama halnya dengan istilah fikih, kata ibadah juga tidak terlepas dari syari’ah itu sendiri. Ibadah merupakan perhambaan seorang manusia kepada Allah sebagai pelaksanaan tugas hidup selaku makhluk. Ibadah terdiri dari beberapa macam, yaitu:

1. Ibadah khusus atau ibadah mahdhah adalah ibadah langsung kepada Allah yang telah ditentukan macam, tata cara, dan syarat rukun yang menjadikan ibadah itu tidak sah atau batal, contohnya shalat, puasa, zakat, dan ibadah haji.

2. Ibadah umum atau ibadah ghair mahdhah adalah ibadah yang jenis dan macamnya tidak ditentukan, baik dalam al-Qur’an maupun sunnah Rasul. Karena itu ibadah ini menyangkut segala perbuatan yang dilakukan oleh seorang muslim.

5.5 Ibadah Khusus

5.5.1 Thaharah dan Hikmahnya

Thaharah atau bersuci merupakan syarat dalam melaksanakan ibadah lainnya, seperti shalat, thawaf, dan lainnya. Bersuci terdiri atas bersuci dari najis dan hadats. Bersuci dari najis adalah menghilangkan najis dari badan, pakaian, dan tempat dengan bahan atau penghilang najis, yaitu air, tanah, atau barang lain yang disyahkan oleh syari’ah seperti batu, daun yang kasap atau kertas. Bersuci dari hadats adalah menghilangkan hadats kecil atau hadats besar. Hadats kecil dihilangkan dengan wudhu dan hadats besar dengan mandi janabat (mandi wajib karena bersetubuh, keluar air mani, dan usai haid atau nifas). Baik wudhu maupun mandi dapat digantikan dengan tayamum, jika tidak didapatkan air, diperjalanan, atau karena halangan tertentu, seperti sakit.

Adapun hikmah dari thaharah ini anatara lain adalah:

· Membiasakan hidup bersih yang menjadi syarat hidup sehat

· Wudhu yang di dalamnya terkandung kewajiban membasuh anggota wudhu mengisyaratkan kewajiban untuk mensucikan diri setiap saat dari dosa

· Tayammum menunakan tanah mengisyaratkan manusia untuk rendah hati, tidak sombong atau takabur.

5.5 Ibadah Khusus

5.5.2 Shalat dan Hikmahnya

Shalat adalah ucapan-ucapan dan gerakan-gerakan yang dimulai dari takbiratul ihram dan diakhiri salam dengan syarat-syarat tertentu. Ketentuan shalat ditetapkan dalam syari’ah Islam berdasarkan al-Qur’an dan hadits. Oleh karena itu, shalat dianggap sah apabila dilakukan sesuai dengan contoh Nabi pada saat shalat. Sabdanya “shalatlah kalian seperti kalian melihat aku shalat”.

Adapun hikmah dari shalat ini adalah pembinaan pribadi, yaitu dapat menghindar dari perbuatan dosa dan kemunkaran. Pembinaan pribadi ini maksudnya adalah pribadi yang terkontrol sedemikian rupa, minimal lima kali sehari semalam, akan cenderung bertingkah laku yang baik, terhindar dari perbuatan dosa. Karena itu, orang yang shalat dengan benar terhayati dan khusyuk akan terhindar dari perbuatan dosa dan inkar.

5.5 Ibadah Khusus

5.5.3 Puasa dan Hikmahnya

Puasa adalah menahan makan dan minum serta segala yang membatalkannya sejak terbit fajar sampai terbenam matahari. Tujuan puasa adalah mencapai derajat takwa, yaitu keadaan di mana seorang muslim tunduk dan patuh kepada perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Dalam melaksanakan pusa orang memerlukan keyakinan sehingga lapar dan sakit dapat tertahankan. Oleh karena itu, wajar kalau orang yang benar-benar melaksanakan ibadah puasa dipandang memiliki salah satu kriteria bertakwa.

Sama halnya dengan thaharah dan shalat, pelaksanaan pusa juga memiliki hikmah tersendiri, yaitu puasa merupakan ibadah ritual yang memiliki makna tinggi. Ini merupakan suatu proses pendidikan dan latihan yang intensif, menguji kekuatan iman, dan sekaligus mengendalikan hawa nafsu. Selain itu, puasa juga mendidik orang untuk disiplin terhadap waktu. Waktu-waktu puasa yang telah ditentukan menggambarkan betapa perlunya waktu dan juga meningkatkan pengamalan agama.

5.5 Ibadah Khusus

5.5.4 Zakat dan Hikmahnya

Zakat adalah memberikan harta apabila telah mencapai nisab dan haul kepada orang yang berhak menerimanya dengan syarat tertentu. Nisab adalah ukuran tertentu dari harta yang dimiliki yang wajib dikeluarkan zakatnya. Sedangkan haul adalah berjalan genab satu tahun. Harta yang dikumpulkan dari para muzakki diberikan kepada orang-orang yang berhak menerima zakat (mustahik). Mereka ini adalah:

· Fakir

· Miskin

· Amilin

· Muallaf

· Hamba Sahaya

· Gharim

· Fi Sabilillah

· Ibnu Sabil.

Hikmah dari ibadah zakat ini banyak sekali, misalnya;

· Bagi muzakki, zakat berarti mendidik jiwa untuk suka berkorban dan membersihkan jiwa dari sifat kikir, sombong, dan angkuh yang biasanya menyertai pemilikan harta yang banyak dan berlebih

· Bagi mustahik, zakat memberikan harapan akan adanya perubahan nasib dan sekaligus menghilangkan sifat iri, dengki, dan suudzan terhadap orang-orang kaya

· Bagi masyarakat muslim, melalui zakat akan terdapat pemerataan pendapatan dan pemilikan harta di kalangan umat Islam.

5.5 Ibadah Khusus

5.5.5 Haji dan Hikmahnya

Haji adalah ibadah ritual, mengunjungi baitullah pada bulan Zulhijjah dengan syarat-syarat tertentu. Ibadah haji adalah bentuk ibadah yang memiliki aspek-aspek keimanan, ritual, dan fisik yang ditunjang oleh aspek ekonomi dan politik. Adapun hikmah dari pelaksanaan ibadah haji ini adalah dapat lebih meningkatkan keimanan seseorang atau lebih dikenal dengan istilah Haji Mabrur yang merupakan amaliah utama yang kadarnya disejajarkan dengan iman dan jihad.

Sebagaimana iman dan jihad, haji mabrur pun tidak hanya setelah pulang dari ibadah haji, melainkan terus-menerus. Bahkan, menurut para ahli haji mabrur pada dasarnya adalah membekasnya ritual haji dalam kehidupan sehari-hari setelah ibadah haji dilakukan

5.6 Muamalah

5.6.1 Muamalah

Muamalah adalah hubungan antar manusia, hubungan sosial, atau hablum minannas. Dalam syari’ah Islam hubungan antar manusia tidak terinci dengan jelas, tetapi diserahkan kepada manusia mengenai bentuknya.

Ruang lingkup muamalah tidak terbatas. Dalam al-Qur’an banyak sekali yang menyangkut masalah ini bila dibandingkan dengan ibadah ritual. Sebagian dari persoalan muamalah, para ahli telah mengkodifikasi hukum-hukum syari’ah terutama dalam kaitan dengan aturan pernikahan, pewarisan, ekonomi, pidana, dan lain sebagainya.

Hal-hal yang telah dipaparkan di atas merupakan bentuk-bentuk dari syari’ah itu sendiri yang sangat bermanfaat bagi kesejahteraan umat manusia baik di dunia maupun di akhirat. Jika keenam hal ini dapat terselenggara dengan baik, maka kemungkinan besar apa yang menjadi tujuan hidup beragama itu dapat terwujud dan dirasakan kebahagiaannya.

Tugas

Dalam bab V ini, ada dua tugas membuat karya ilmiah yang sesuai dengan pokok bahasan dan sub pokok bahasan yang diberikan kepada mahasiswa yang mengikuti perkuliahan. Kedua tugas ini masing-masing disajikan setiap minggu dalam bentuk makalah.

Overview

Manusia diciptakan bersuku-suku dan dengan berbagai agama oleh karena itu untuk menjalin kerjasama itu kita harus menjalin kerja sama antar umat beragama agar tercipta kedamaian dan tidak adanya kerusakan di bumi ini.

6.1 Hubungan Intern Umat Islam

6.1.1 Kerjasama Islam

Agama Islam diturunkan Allah SWT untuk mengatur kehidupan manusia. Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendirian, tetapi membutuhkan hubungan dengan manusia lainnya. Sesuai dengan hakikat manusia itu agama Islam mengatur hubungan antar manusia, baik sesama muslim maupun muslim dengan umat yang lain.

Agama Islam mengatur hubungan sesama umat Islam dengan mengembangkan ukhuwah Islamiah (persaudaraaan sesama muslim) yang didasarkan atas kesamaan iman, karena itu perbedaan-perbedaan sebagai akibat perbedaan dalam penafsiran di tengah umat Islam tidak boleh menjadi factor pemicu perpecahan umat Islam. Hubungan antara seorang muslim dengan muslim yang lain digambarkan seperti hubungan antara satu anggota tubuh dengan anggota tubuh lainnya yang bersatu secara utuh.Nabi Muhammad SAW menggambarkan hubungan muslim dengan muslim dalam sabdanya:

Perumpamaan orang-orang yang beriman bagaikan satu tubuh, apabila salah satu anggota tubuh terluka, maka seluruh tubuh merasakan sakitnya (H.R. Muslim dan Ahmad).

Hal ini didukung oleh firman Allah SWT dalam Surat Al-Hujarat, 49:10, yang mengandung arti

… Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara.

Ukhuwah di kalangan umat Islam seringkali diganggu oleh adanya perbedaan dalam pemahaman keislaman.Perbedaan yang memicu konflik intern umat Islam biasanya menyangkut persoalan fiqhiyah. Perbedaaan pemahaman keagamaan merupakan hal yang wajar dan manusiawi, karena adanya perbedaan latar belakang pengetahuan, pengalaman, dan perbedaan lainnya. Karena itu perbedaan hendaknya disikapi secara wajar dan arif.

Adanya perbedaan dalam pemahaman agama akan selalu ada di tengah umat Islam, karena al-Qur’an sebagai rujukan utama masih bersifat global dan adanya keragaman pengamalan agama yang ditampilkan Nabi melalui hadis-hadisnya. Keduanya memerlukan penafsiran dan ketika ditafsirkan ia menjadi terbuka untuk berbeda penafsiran. Di samping itu adanya ijtihat dalam menetapkan suatu hukum yang belum ditetapkan memungkinkan pula terjadinya perbedaaan. Sikap yang sebaiknya ditampilkan umat Islam dalam menghadapi perbedaan itu adalah menetapkan rujukan yang menurutnya atau menurut ahli yang dipercayainya lebih dekat kepada maksud yang sebenarnya. Terhadap orang yang berbeda penafsiran seyogyanya dikembangkan sikap toleran dan hormat-menghormati, serta tetap menghubungkan silaturahmi.

Dengan demikian perbedaan yang ada di kalangan umat Islam tidak menjadikan mereka terpecah-pecah. Kerja sama sesame umat Islam hendaknya didasarkan atas kesamaan aqidah sehingga dapat terwujud persatuan dan kesatuan dalam meninggikan syiar Islam di muka bumi.

6.2 Hubungan Antar Umat Beragama

6.2.1 Hubungan Antar Umat Beragama

Agama Islam mengakui keberagaman agama yang dianut oleh manusia, karena itu ia tidak hanya mengajarkan tata cara hubungan sesame umat Islam, tetapi juga hubungan dengan umat beragama lain. Islam adalah agama yang mengembangkan kedamaian dan kesejahteraan seluruh alam (rahmatan lil alamin), karena itu Islam mengajarkan umatnya untuk tidak memaksa orang lain untuk menganut agama Islam, tetapi mendorong umatnya untuk memperlihatkan kepada orang lain penampilan yang baik sehingga menyenangkan untuk didekati dan diakrabi. Rasulullah SAW mencontohkan hubungan yang baik dengan pamannya yang bukan muslim sehingga karena budi pekertinya itu banyak orang tertarik kepada Islam.

Dalam hubungannya dengan penganut agama lain Islam mengajarkan toleransi (tasamuh), yaitu membiarkan dan tidak ikut campur dengan mereka dalam melaksanakan agamanya. Islam membolehkan umatnya untuk bekerja sama dengan penganut agama lain di luar kegiatan ritual, misalnya menjalin hubungan ekonomi dan perdagangan politik, sosial, dan budaya sepanjang dapat menjamin kemurnian aqidahnya. Sedangkan kerja sama dalam urusan ritual atau ibadah tidak diperkenankan sama sekali, tetapi umat Islam tetap wajib menghormati dan memberikan kebebasan kepada mereka untuk menjalankan agamanya.

7.1 Pengertian, Hukum, dan Tujuan Pernikahan

7.1.1 Pengertian, Hukum, dan Tujuan Pernikahan

Nikah menurut bahasa berarti menghimpun, sedangkan menurut terminologis adalah akad yang menghalalkan pergaulan antara laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim sehingga menimbulkan hak dan kewajiban diantara keduanya. Pernikahan dalam arti luas adalah suatu ikatan lahir bathin antara laki-laki dan perempuan untuk hidup bersama dalam suatu rumah tangga. Pernikahan dilakukan untuk mendapatkan keturunan yang dilangsungkan menurut ketentuan-ketentuan agama.

Dalam setiap ajaran agama, pernikahan mempunyai hukum-hukum tertentu, misalnya saja dalam ajaran Islam, hokum asal pernikahan itu adalah mubah (boleh). Kemudian hukumnya bergantung pada kondisi atau keadaan orang yang bersangkutan. Karena itu hukum nikah itu bisa menjadi wajib, sunnat, mubah, makruh, dan haram.

Nikah dalam setiap agama selalu dianjurkan karena pernikahan itu merupakan bagian yang tidak dapat dipungkiri menjadi kebutuhan setiap orang kecuali karena hal-hal tertentu. Pernikahan dalam ajaran Islam berada pada tempat yang tinggi dan mulia. Hal ini didukung oleh hadits nabi, yakni “nikah itu sunnahku, barang siapa membenci pernikahan, maka ia bukanlah tergolong umatku”. Selain itu, hadits nabi yang lainnya adalah “nikah itu adalah setengah iman”. Itulah mengapa, Rasulullah sangat menganjurkan kepada umatnya untuk menikah dan membangun kehidupan rumah tangga yang sakinah, yaitu keluarga yang tenang, tenteram, damai, dan sejahtera.

7.2 Persiapan Nikah atau Khitbah

7.2.1 Persiapan Nikah atau Khitbah

Dalam melaksanakan suatu pernikahan, tentu memerlukan suatu persiapan khusus apalagi pernikahan itu melibatkan keluarga dan orang banyak. Persiapan yang baik tentu akan menghasilkan sesuatu yang memuaskan, dan begitupun juga jika persiapan pernikahan seseorang itu telah dipersiapkan dengan matang, maka acara pernikahannya juga akan baik dan memuaskan.

Persiapan pernikahan ini tidak hanya bersifat material semata yang harus dipersiapkan, tetapi non-materi, seperti persamaan pandangan, keinginan, dan harapan juga harus diperhatikan karena tidak jarang perbedaan budaya, adat, dan pendidikan mengakibatkan kegagalan dalam suatu pernikahan, apalagi agama.

Dalam setiap agama terkadang ada aturan-aturan tertentu tentang mana perempuan yang haram dinikahi dan mana perempuan yang halal dinikahi. Aturan ini harus selalu dijadikan pegangan atau pedoman dalam memilih pasangan hidup karena ini akan berakibat kurang baik dalam perkawinan yang mereka bina. Adapun criteria mencari calon pasangan yang dianjurkan Rasulullah diungkapkan dalam hadits yang artinya “perempuan dinikahi karena empat hal, yaitu karena cantiknya, hartanya, keturunannya, dan agamanya. Pilihlah karena agamanya, niscaya engkau mendapat keuntungan (H.R.Bukhari dan Muslim). Dengan demikian jelas bahwa dalam menentukan calan pasangan pun kita harus berhati-hati supaya kita tidak menyesal di kemudian harinya.

7.3 Pelaksanaan Pernikahan

7.3.1 Pelaksanaan Pernikahan

Setelah persiapan pernikahan itu telah matang, selanjutnya adalah pelaksanaan pernikahan itu sendiri. Pelaksanaan pernikahan juga tentu memiliki aturan-aturan tertentu sesuai dengan aturan agama yang dianut dan aturan negara tempat mereka tinggal. Contohnya dalam ajaran Islam, pernikahan dapat dinyatakan syah apabila terkumpul rukun-rukunnya, yaitu adanya calon pasangan, wali, dua orang saksi, mahar atau mas kawin, dan ijab qabul (serah terima).

Setelah ijab qabul dilakukan, pasangan itu syah sebagai suami istri dan masing-masing memiliki hak dan kewajiban yang harus dipenuhi. Hak dan kewajiban suami istri pada dasarnya seimbang dan bentuknya dapat dibicarakan dan disepakati bersama. Dalam keluarga harus terjadi komunikasi, saling memperhatikan, dan saling memberikan kasih sayang.

7.4 Thalak dan ‘Iddah

7.4.1 Thalak dan ‘Iddah

Thalak atau yang kita kenal dengan perceraian dewasa ini sangat marak kita dengar. Terkadang karena masalah yang kecil mengakibatkan perceraian dalam rumah tangga. Jika perceraian ini terjadi, anaklah yang menjadi korban. Pada dasarnya thalak atau perceraian adalah melepaskan ikatan nikah dari suami ikepada istrinya dengan lapaz tertentu, misalnya suami mengatakan: “saya thalak engkau”. Dengan ucapan yang singkat ini sudah terjadilah yang namanya perceraian (thalak) itu.

Adapun hukum thalak ini sendiri dalah halal, tetapi konsekuensinya sangat berat, terutama jika pasangan itu telah memiliki keturunan. Karena itu, kendatipun halal hukumnya, tetapi Allah SWT sangat membencinya. Sebagaimana hadits yang berbunyi “dari Ibnu Umar RA, ia berkata: Rasulullah bersabda: barang yang halal tetapi dibenci Allah adalah thalak (HR.Abu Daud, Ibn Majah, disahkan Hakim dan Abu Hatim menguatkan mursalnya)”.

‘Iddah adalah masa menunggu bagi wanita yang dithalak oleh suaminya sampai ia dapat menikah kembali dengan laki-laki lain. Lamanya adalah sebagai berikut:

1. Perempuan yang masih mengalami haid secara normal, ‘iddahnya tiga kali suci

2. Perempuan yang tidak lagi mengalami haid (monopouse) atau belum mengalaminya sama sekali, ‘iddahnya tiga bulan

3. Perempuan yang ditinggal mati suaminya, ‘iddahnya empat bulan sepuluh hari

4. Perempuan yang sedang hamil, waktu ‘iddahnya sampai melahirkan.

7.5 Hikmah Pernikahan

7.5.1 Hikmah Pernikahan

Adapun hikmah dari pernikahan itu adalah:

1. Memelihara derajat manusia

2. Menjaga garis keturunan

3. Mengembangkan kasih sayang

tugas

Dalam bab VI ini, ada satu tugas membuat karya ilmiah yang sesuai dengan pokok bahasan dan sub pokok bahasan yang diberikan kepada mahasiswa yang mengikuti perkuliahan. Tugas ini harus disajikan dalam satu kali pertemuan berbentuk makalah.

8.1 Hukum Waris

8.1.1 Hukum Waris

Mawaris atau faraid adalah aturan yang berkaitan dengan pembagian harta pusaka dengan aturan tertentu. Adapun yang menyebabkan mengapa perlunya aturan dalam perhitungan pembagian harta warisan ini supaya tidak terjadi kecemburuan dan keributan dalam suatu keluarga yang akan membagi harta warisan itu.

Dalam ajaran Islam, apabila seorang muslim meninggal dunia dan meninggalkan harta benda, maka setelah mayat dikuburkan keluarganya wajib mengelola harta peninggalannya dengan langkah-langkah sebagai berikut:

1. Membiayai perawatan jenazahnya

2. Membayar zakatnya

3. Membayar utang-utangnya

4. Membayar wasiatnya

5. Pembagian harta warisannya

Dari tahapan-tahapan di atas, jelas bahwa jika seseorang meninggal dunia, maka ada beberapa kewajiban yang harus dilakukan sebelum harta pusaka yang dimilikinya dibagikan kepada keluarganya.

Seseorang berhak mendapatkan warisan karena:

1. Perkawinan, yaitu adanya ikatan yang sah antara laki-laki dan perempuan

2. Kekerabatan, yaitu hubungan nasab antara orang yang mewariskan dan orang yang mewarisi yang disebabkan oleh kelahiran

3. Wala atau perwalian, yaitu kekerabatan yang timbul karena membebaskan budak dan adanya perjanjian tolong menolong atau sumpah setia antara seseorang dengan orang lain.

8.2 Hibah

8.2.1 Hibah

Hibah adalah akad mengenai pemberian harta milik seseorang kepada orang lain di waktu ia masih hidup tanpa adanya imbalan. Hibah adalah pemberian yang tidak boleh ditolak karena merupakan kebaikan orang dan rizki dari Allah SWT. Apabila yang dihibahkan itu barang berharga, misalnya tanah atau rumah, sebaiknya disertakan surat bukti hibahnya agar tidak terjadi masalah di kemudian hari. Hibah tidak dibatasi banyak dan jenisnya, asal pemberian itu bukan barang yang diharamkan untuk dimakan dan diperjualbelikan

8.3 Wasiat

8.3.1 Wasiat

Wasiat adalah pemberian seseorang kepada orang lain, baik berupa barang, piutang, atau manfaat untuk dimiliki oleh orang yang diberi wasiat, sesudah orang yang berwasiat meninggal dunia. Wasiat dinyatakan sah apabila orang yang berwasiat dalam keadaan dewasa, tidak terpaksa dan terjadi ijab qabul. Wasiat dapat pula dilakukan melalui tulisan apabila orang yang mewasiatkan tidak mampu berbicara. Wasiat juga dapat menjadi batal apabila;

1. Orang yang mewasiatkan menderita penyakit gila yang membawanya pada kematian
2. Orang yang diberi wasiat meninggal sebelum orang yang memberi wasiat
3. Barang yang diwasiatkan rusak sebelum diterima oleh orang yang diberi wasiat.

8.4 Wakaf

8.4.1 Wakaf

Wakaf adalah menahan harta dan memberikan manfaatnya di jalan Allah. Wakaf merupakan perbuatan yang baik dan sangat dianjurkan. Wakaf dinyatakan sah apabila terjadi ikrar wakaf berupa ucapan dari orang yang mewakafkan (wakif) kepada orang yang menerima (bertanggung jawab terhadap) barang yang diwakafkan (nadir). Wakaf sebaiknya diserahkan kepada lemabga, bukan kepada perorangan . Wakaf pada dasarnya diberikan untuk digunakan manfaatnya dalam rangka kegiatan di jalan allah, seperti untuk masjid atau sekolah.

Tugas

Dalam bab VII ini, ada satu tugas membuat karya ilmiah yang sesuai dengan pokok bahasan dan sub pokok bahasan yang diberikan kepada mahasiswa yang mengikuti perkuliahan. Tugas ini harus disajikan dalam satu kali pertemuan berbentuk makalah.

8.5 Ahli Waris

8.5.1 Pengelompokan Berdasarkan Sebab-Sebab Ahli Waris Mendapat Warisan

a. Ahli Waris Nasabiyah

Ahli waris nasabiyah adalah seseorang menjadi ahli waris karena mempunyai hubungan nasab, mempunyai hubungan darah, atau mempunyai hubungan kekeluargaan dengan pewaris. Ahli waris tersebut jika dikelompokkan menurut tingkat kekerabatannya, meliputi furu’al­mayyit, usul al-mayyit, dan al-hawasyi.

1) Furu’ al-Mayyit

Furu’ al-mayyit adalah ahli waris anak keturunan si mati atau disebut kelompok cabang (al-bunuwwah). Kelompok inilah yang terdekat dan mereka yang didahulukan menerima warisan. Ahli waris kelompok ini adalah anak perempuan, cucu perempuan garis laki-laki, anak laki-laki, dan cucu laki-laki garis laki-laki.

2) Usul al-Mayyit

Usul al-mayyit adalah ahli waris leluhur si mati. Kedudukannya, berada setelah kelompok furu’ al-mayyit. Mereka adalah bapak, ibu, kakek garis bapak, nenek garis ibu, nenek garis bapak.

3) Al-Hawasyi

Al-hawasyi adalah ahli waris kelompok saudara dan paman serta keturunannya. Mereka adalah saudara perempuan sekandung, saudara perempuan seayah, saudara perempuan seibu, saudara laki-laki sekandung, saudara laki-laki seayah, saudara laki-laki seibu, anak saudara laki-laki sekandung, anak saudara laki-laki seayah, paman sekandung, paman seayah, anak paman sekandung, dan anak paman seayah.

b. Hubungan Perkawinan

Perkawinan yang sah menyebabkan adanya hubungan hukum sating mewarisi antara suami dan istri, yakni perkawinan yang syarat dan rukunnya terpenuhi, baik secara agama maupun administratif.

c. Hubungan karena Wales’

Al-wala’ adalah hubungan kewarisan akibat seseorang memerdekakan hamba sahaya atau melalui perjanjian tolong-menolong. Kewarisan akibat seseorang memerdekan hamba sahaya disebut wala’al-`atagah, sedangkan yang kedua disebut wala’ al-muwalah, yakni wala’ yang terjadi akibat kesediaan seseorang tolong-menolong dengan yang lain melalui perjanjian. Orang yang memerdekakan hamba sahaya disebut mu’tiq atau mu’tiqah.

8.5 Ahli Waris

8.5.2 Pengelompokan Berdasarkan Bagiannya

Adapun bagian yang sudah ditentukan atau furudul muqaddarah itu ada 6, yaitu 2/3, 1/3, 1/2, 1/4, 1/6, 1/8. Para ahli waris ashahul ficrud yang berhak atas bagian-bagian di atas adalah sebagai berikut.

a. Ahli waris yang menerima 2/3 bagian ada empat orang, yaitu

1) dua orang anak perempuan atau lebih apabila tidak bersama anak laki-laki;

2) dua orang cucu perempuan dari anak laki-laki atau lebih apabila tidak bersama cucu laki-laki;

3) dua orang saudara perempuan sekandung atau lebih apabila tidak bersama saudara laki-laki sekandung;

4) dua orang saudara perempuan sebapak atau lebih apabila tidak bersama saudara laki-laki sebapak.

b. Ahli waris yang menerima 1/3 bagian ada dua orang, yaitu

1) ibu apabila pewaris tidak mempunyai anak/keturunan dan atau tidak bersama dua orang saudara atau lebih;

2) dua orang atau lebih saudara atau saudara seibu.

c. Ahli waris yang menerima 1/2 bagian ada lima orang, yaitu

1) seorang anak perempuan apabila tidak bersama anak laki-laki;

2) seorang cucu perempuan dari anak laki-laki apabila tidak bersama cucu laki-laki;

3) seorang saudara perempuan sekandung apabila tidak bersama saudara laki-laki

sekandung;

4) seorang saudara perempuan sebapak apabila tidak bersama saudara laki-laki sebapak;

5) suami apabila pewaris tidak punya anak/keturunan

d. Ahli waris yang menerima 1/4 bagian ada dua orang, yaitu

1) suami apabila pewaris mempunyai anak/keturunan;

2) istri apabila pewaris tidak mempunyi anak/keturunan.

e. Ahli waris yang menerima 1/6 bagian ada tujuh orang, yaitu

1) bapak apabila pewaris mempunyai anak/keturunan;

2) kakek apabila tidak ada bapak dan pewaris mempunyai anak/keturunan;

3) ibu apabila pewaris mempunyai anak/keturunan atau bersama dua orang saudara atau lebih;

4) nenek apabila tidak ada ibu;

5) cucu perempuan dari anak laki-laki apabila bersama dengan seorang anak perempuan , dan tidak ada cucu laki-laki;

6) saudara perempuan sebapak apabila bersama seorang saudara perempuan sekandung clan tidak ada saudara sebapak;

7) seorang saudara seibu.

f. Ahli waris yang menerima 1/8 bagian hanya satu orang, yaitu istri apabila pewaris I mempunyai anak/keturunan.

8.6 Hijab

8.6.1 Pengertian Hijab

Menurut bahasa, al-hajhu adalah (mencegah) atau (menghalangi). Kata tersebut terdapat dalam firman Allah swt. Surah al-Mutaffifin Ayat 15 berikut.

Artinya:

Sekali-kali tidak! Sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar terhalang dari (melihat) Tuhannya. (QS. al-Mutaffifin/83 : 15)

Secara istilah, hijab adalah

Artinya:

Terhalang dari menerima warisan seluruhnya atau sebagiannya.

Menurut sebagian ulama mawaris, hijab yang dimaksud dalam ilmu waris adalah

Artinya:

Penghalang bagi orang tertentu untuk mendapatkan warisannya, baik seluruhnya maupun sebagian karena adanya orang lain.

Orang lain dalam definisi di atas adalah orang yang lebih dekat hubungannya dengan si mati.

Adapun ahli waris yang terhalang dari menerima warisan disebut mahju, sedangkan ahli waris yang menghalanginya dari menerima warisan disebut hajib.

8.6 Hijab

8.6.2 Macam-Macam Hijab

Dalam ilmu mawaris, al-hajbu dibedakan menjadi dua, yaitu hajbu bi al-wasfi dan hajbu bi al-syakhsi.

a. Hajbu bi al-wasfi

Hajbu bi al-wasfi adalah seseorang terhalang dari menerima warisan karena sifat yang ada pada dirinya, seperti ia membunuh pewarisnya atau berbeda agama dengan pewarisnya. Jadi, dalam hal in] sama dengan mawani’ al-irsi.

b. Hajbu bi al-syakhsi

Hajhu bi al-syakhsi adalah terhalangnya seseorang dari menerima warisan, baik seluruhnya maupun sebagiannya karena ada orang lain (ahli waris yang lain). Selanjutnya, hajbu bi al-syakhsi dibagi menjadi dua macam, yaitu hajbu hirman dan hajbu nuqsan.

1) Hujhu hirman Hajhu hirman adalah terhalangnya ahli waris dari menerima seluruh bagian warisan yang menjadi haknya. Dalam firman Allah swt. Surah an-Nisa’ Ayat 176, diterangkan bahwa saudara berhak menerima warisan apabila tidak ada anak (laki­laki). Hal itu menunjukkan bahwa saudara terhijab hirman oleh anak laki-laki. Misalnya, terhijabnya kakek oleh bapak. Artinya, selama ada bapak maka kakek tidak berhak menerima warisan.

2) Hajhu nuqsan

Hajhu nuqsan adalah terhalangnya ahli waris dari menerima bagiannya yang maksimal menjadi menerima bagian yang minimal. Dalam firman Allah swt. Surah

an-Nisa’ Ayat 11, dijelaskan bahwa ibu mendapat 1/6 bagian apabila pewaris mempunyai anak/keturunan, sedangkan apabila tidak ada anak, ibu menerima 1/3 bagian. Hal itu menunjukkan bahwa ibu terhijab nuqsan oleh anak, dari menerima 1/3 bagian menjadi 1/6 bagian. Misalnya, terhijab nuqsan-nya suami dari menerima 1/2 bagian menjadi 1/4 bagian karena ada anak/keturunan.

Dari seluruh ahli waris yang ada, hanya ada 6 orang ahli waris yang selamanya tidak pernah terhijab secara hijab hirman. Artinya, mewarisi dengan siapa pun dia harus memperoleh bagian, hanya saja mungkin bagian mereka ada yang terhijab nuqsan. Keenam orang tersebut adalah anak laki-laki, anak perempuan, ibu, bapak, suami, clan istri. Keenam orang di atas sering disingkat al-ibnani, al-abwani, dan az-zaujani.

Apabila dibandingkan antara ketentuan hijab mahjub dalam hukum kPwarisan Islam clan ketentuan hukum adat secara hukum perdata, sebenarnya hampir tidak jauh berbeda. Dalam Hukum Perdata, apabila ada ahli waris golongan pertama, ahli waris golongan kedua clan seterusnya tidak berhak menerima warisan. Ini berarti ahli waris golongan satu menghijab ahli waris golongan dua, tiga, clan seterusnya, Untuk jelasnya lihat tabel berikut!

a. Hijab Hirman

Ahli Waris Terhijab oleh

1.Kakek Ayah

2.Nenek dari ibu Ibu

3.Nenek dari ayah a. Ayah

b. Ibu

4.Cucu laki-laki garis laki-laki Anak laki-laki

.Cucu perempuan garis laki-laki a. Anak laki-laki

b. Anak perempuan dua

orang/lebih

6.Saudara sekandung laki atau perempuan a. Anak laki-laki

b. Cucu laki-laki

c. Ayah

7.Saudara seayah laki atau perempuan

Hijabnya: a. Anak laki-lak

b. Cucu laki-laki

c. Ayah

d. Saudara kandung laki-laki

e. Saudara kandung perempuan

bersama anak cucu perempuan

8.Saudara seibu laki atau perempuan

Hijabnya: a. Anak laki dan anak perempuan

b. Cucu laki dan cucu perempuan

c. Ayah

d. Kakek

9. Anak laki-laki saudara laki sekandung

Hijabnya:

a. Anak laki-laki

b. Cucu laki-laki

c. Ayah atau kakek

d. Saudara laki-laki sekandung atau seayah

e. Saudara perempuan sekandung atau seayah yang menerima

‘asabah ma `al-gair

10. Anak laki-laki saudara seayah

a. Anak atau cucu laki-laki

b. Ayah atau kakek

c.Saudara laki-laki

sekandung atau seayah

d. Anak laki-laki saudara

laki-laki sekandung

e. Saudara perempuan

sekandung atau seayah

yang menerima ‘asabah

ma `al-gair

11.Paman sekandung

a. Anak atau cucu laki-laki

b. Ayah atau kakek

c. Saudara laki-laki sekandung atau seayah

d. Anak laki-laki saudara

12.Paman Seayah

a. Anak atau cucu laki-laki

b. Ayah atau kakek

c.Saudara laki-laki sekandung atau seayah

d.Anak laki-laki saudara sekandung atau seayah

e.Saudara perempuan sekandung atau seayah yang menerima ‘

asabah ma `al-gair

f. Paman sekandung atau seayah

13.Anak laki-laki paman sekandung

a. Anak atau cucu laki-laki

b. Ayah atau kakek

c. Saudara laki-laki sekandung atau seayah

d. Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung atau seayah

e. Saudara perempuan sekandung atau seayah yang menerima

‘asabah ma `al-gai

f.Paman sekandung atau seayah

14.Anak laki-laki paman seayah

a. Anak atau cucu laki-laki

b. Ayah atau kakek

c.Saudara laki-laki sekandung atau seayah

d. Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung atau seayah

e. Saudara perempuan sekandung atau seayah yang menerima

‘asabah ma `al-gair­

f. Paman sekandung atau seayah

g. Anak laki-laki paman sekandung

8.7 Ahli Waris ‘Ashabah

8.7.1 ‘Asabah binnafsi

Menurut arti bahasa, ‘ashabah adalah kerabat seseorang dari pihak ayah. Yang dimaksud ahli waris ‘ashabah adalah ahli waris yang mengambil semua harta warisan apabila seorang diri atau mengambil sisa setelah diambil lebih dahulu oleh ahli waris ashabul furud sehingga apabila tidak ada sisanya maka ia tidak mendapat bagian.

a. ‘Asabah binnafsi

Secara bahasa, ‘asabah binnafsi adalah seseorang menjadi ‘asabah karena dirinya sendiri. Hal itu karena pertalian kekerabatannya dengan pewaris sangat dekat. Secara istilah, semua ahli waris laki-laki yang dalam silsilah kekeluargaannya kepada si mati (pewaris) tidak diselingi oleh perempuan. Mereka itu ada 12 orang, yaitu

1) anak laki-laki;

2) cucu laki-laki dari anak laki dan seterusnya ke bawah;

3) bapak;

4) kakek;

5) saudara laki-laki sekandung;

6) saudara laki-laki sebapak;

7) anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung dan seterusnya ke bawah;

8) anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak clan seterusnya ke bawah;

9) paman sekandung;

10) paman sebapak;

11) anak laki-laki dari paman sekandung dan seterusnya ke bawah;

12) anak laki-laki dari paman sebapak clan seterusnya ke bawah.

8.7 Ahli Waris ‘Ashabah

8.7.2 ‘Asabah bil-gair

`Asabah hil-gair secara bahasa, berarti ‘asabah dengan orang lain. Secara istilah, ‘asabah bil-gair adalah ahli waris ashabul furud perempuan ditarik oleh ahli waris ‘asabah binnafsi (laki-laki) yang menjadi mu `asibnya untuk berserikat dalam mewarisi secara ‘asabah.

Ahli waris yang menarik menjadi ‘asabah adalah yang sederajat dengan ahli waris perempuan yang ditariknya. Adapun ahli waris yang ditarik clan yang menariknya menjadi `asabah adalah

1) anak perempuan ditarik oleh anak laki-laki;

2) cucu perempuan dari anak laki-laki ditarik oleh cucu laki-laki dari anak laki-laki;

3) saudara perempuan sekandung ditarik oleh saudara laki-laki sekandung;

4) saudara perempuan sebapak ditarik oleh saudara laki-laki sebapak.

Dalam mewarisi, mereka berserikat dengan ketentuan yang laki-laki mendapat bagian

dua kali dari yang perempuan.

Dasar hukum bagi ahli waris ‘asabah bil-gair adalah Surah an-Nis a’ Ayat 11 clan 176 berikut.

Artinya:

Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anak­

anaknzu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak

perempuan …. (Q.S. an-Nisa /4: 11)

8.7 Ahli Waris ‘Ashabah

8.7.3 `Asabah ma `al-gair

Secara bahasa, `asabah ma `al-gair berarti ‘asabah bersama orang lain. ‘Asabah ma gair secara istilah adalah ahli waris ashabul fur-ud perempuan yang memerlukan orang 1 dalam menerima ‘asabah, tetapi tidak berserikat dalam mewarisi `asahah tersebut.

‘Asabah ma’al-gair yang dijadikan `asabah dan yang menjadikannya sebagai `asa, (mu’asib) adalah sama-sama perempuan, yaitu saudara perempuan sekandung, saud perempuan sebapak yang mewarisi dengan anak perempuan, atau cucu perempuan dari a laki-laki.

Dasar hukum ‘asabah ma `al-gair adalah hadis riwayat Bukhari yang menyebutkan bat Ibnu Mas’ud ketika menyelesaikan kasus pewarisan, ahli warisnya terdiri atas seorang a perempuan, seorang cucu perempuan dari anak laki-laki, dan seorang saudara peremp sekandung. Ibnu Mas’ ud mengatakan yang artinya, “Saya selesaikan persoalan tersebut den yang telah diputusk-an oleh Rasulullah saw., yaitu bagi seorang anak perempuan mend( setengah, bagi cucu perempuan dari anak laki-laki mendapat seperenam untuk menyempurna hagian dua pertiga, sedangkan sisanya untuk saudara perempuan sekandung.”

8.8 Pembagian Waris

8.8.1 Masalah `Aul dan Rad

1. Masalah `Aul dan Rad

Secara bahasa, ‘aul mengandung banyak pengertian. Di antaranya bermakna zalim atau menyimpang, sebagimana diterangkan dalam firman Allah swt. Surah an-Nisa’ Ayat 3 berikut.

Artinya:

… Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim. (Q.S. an-Nisa’/4 : 3)

`Aul menurut bahasa sama artinya dengan irtifa’, yakni mengangkat atau az-ziyadah (tambahan), sedangkan menurut istilah, ‘aul adalah bertambahnya saham dari yang telah ditentukan dan berkurangnya bagian para ahli waris. Dikatakan demikian, karena dalam praktik pembagian warisan, angka asal masalah harus ditingkatkan sebesar angka bagian yang diterima ahli waris.

Langkah itu diambil karena jika diselesaikan menurut ketentuan baku, sebagaimana mestinya maka akan terjadi kekurangan harta. Ini terjadi apabila banyak ahli waris yang berhak mendapat warisan sehingga menghabiskan harta warisan, bahkan masih ada ahli waris lain yang belum mendapat bagian. Untuk mengatasinya, angka asal masalah ditingkatkan sebesar jumlah bagian yang diterima ahli waris sehingga memungkinkan ahli waris yang belum memperoleh warisan akan mendapat bagian warisan. Pengertian tersebut dapat disederhanakan dengan bahasa matematika pembilang lebih besar daripada penyebut.

Rad secara istilah, berarti membagi sisa harta warisan kepada ahli waris menurut bagian mereka masing-masing secara proporsional.

Masalah rad adalah kebalikan dari masalah ‘aul. Masalah rad terjadi apabila dalam pembagian harta warisan terdapat kelebihan harta setelah ahli waris ashabul furud memperoleh bagiannya. Cara rad itu ditempuh untuk mengembalikan sisa harta kepada ahli waris seimbang dengan bagian yang diterima masing-masing secara proporsional. Caranya, dengan mengurangi angka asal masalah sehingga sama besarnya dengan jumlah bagian yang diterima oleh mereka. Jika tidak ditempuh dengan cara demikian, akan menimbulkan masalah siapa yang berhak menerimanya, sementara tidak ada ahli waris penerima ‘asabah. Dalam bahasa matematika, diistilahkan penyebut lebih besar daripada pembilang.

Contoh masalah rad: A=1/4 – 3 B=1/6 – 2 C= 1/3- 4 maka AM = 12, sedangkan jumlah bagian masing-masing ahli waris adalah 9. Contoh masalah `Aul: A = 1/2-12 B= 1/3- 8 C= 1/4 -6 D=6-4 E= 1/8-3 maka AM = 24.

Masalah cucu yang bapaknya mati lebih dahulu daripada kakeknya dan mewarisi bersama dengan saudara-saudara bapaknya, menurut ketentuan cucu tersebut tidak mendapat bagian karena terhijab saudaranya bapak. Akan tetapi, menurut Kitab Undang-undang wasiat Mesir, cucu diberi bagian berdasarkan wasiat wajibah.

Termasuk masalah musyarakah, yakni jika dalam pembagian warisan saudara sekandung sebagai ahli waris ‘asabah tidak mendapat bagian sedikit pun karena telah dihabiskan ahli waris ashabul furud yang di antaranya saudara atau saudari seibu lebih dari seorang. Misalnya, ahli warisnya terdiri atas suami, ibu atau nenek, dua saudara seibu, dan seorang saudara sekandung. Bagian masing-masing adalah sebagai berikut.

Pembagian di atas tidak logis jika saudara sekandung yang lebih kuat kekerabatannya daripada seibu tidak mendapat bagian. Oleh karena itu, diputuskan (oleh Umar) bahwa saudara seibu dan sekandung berserikat untuk bersama-sama menerima bagian sama, tanpa membedakan laki atau perempuan. Dengan demikian, penyelesaiannya sebagai berikut.

8.8 Pembagian Waris

8.8.2 Hikmah Hukum Kewarisan Islam

Syariat Islam menetapkan aturan waris dengan bentuk yang sangat teratur dan adil. Di dalamnya, ditetapkan hak kepemilikan harta bagi setiap manusia, baik laki-laki maupun perempuan dengan cara yang legal.

Syariat Islam juga menetapkan hak pemindahan kepemilikan seseorang sesudah meninggal dunia kepada ahli warisnya, dari seluruh kerabat dan nasabnya, tanpa membedakan antara laki-laki dan perempuan, besar clan kecil. Al-Qur’an menjelaskan dan merinci secara detail hukum-hukum yang berkaitan dengan hak kewarisan tanpa mengabaikan hak seorang pun.

Bagian yang harus diterima semuanya dijelaskan sesuai kedudukan nasab terhadap pewaris, apakah dia sebagai anak, ayah, istri, suami, kakek, ibu, paman, cucu, atau bahkan hanya sebatas saudara seayah atau seibu. Oleh karena itu, Al-Qur’ an merupakan acuan utama hukum secara penentuan pembagian waris, sedangkan ketetapan tentang kewarisan yang diambii dari hadis Rasulullah saw. dan ijmak para ulama sangat sedikit.

Dapat dikatakan bahwa dalam hukum clan syariat Islam sedikit sekali ayat Al-Qur’an yang merinci suatu hukum secara detail clan rinci, kecuali hukum waris ini. Hal demikian, disebabkan kewarisan merupakan salah satu bentuk kepemilikan yang legal clan clibenarkan Allah swt, di samping bahwa harta merupakan tonggak penegak kehidupan, baik bagi individu maupun kelompok masyarakat. Hukum kewarisan Islam bertujuan membagi kepemilikan harta tersebut secara adil sehingga dapat dihindari terjadinya perselisihan antarahli waris.

9.1 Pengertian dan Dasar Hukum

9.1.1 Pengertian dan Dasar Hukum

Tindak pidana yang dimaksud dalam bab ini adalah bentuk-bentuk perbuatan jahat yang berkaitan dengan jiwa manusia atau anggota tubuh (pembunuhan atau pelukaan). Tindak pidana atau jinayat dibagi ke dalam tiga aspek, yaitu kejahatan yang dapat dikenai hukuman qishash (jaraimul qishash), kejahatan yang dikenai had atau hudud (jaraimul hudud), dan tindak kejahatan yang dapat dikenai takzir (jaraimul takzir).

Tindak kejahatan atau tindak pidana yang dapat dikenai qishash (jaraimul qishash) dan diyat adalah:

1. Pembunuhan dengan sengaja

2. Pembunuhan tidak sengaja

3. Pembunuhan seperti sengaja

Tindak kejahatan yang dapat dikenai hukuman had (jaraimul had ) adalah:

1. Zina

2. Menuduh zina

3. Mabuk

4. Mencuri

5. Memberontak

6. Murtad

7. Durhaka

Adapun tindak pidana yang dikenai takzir antara lain takzir atas maksiat, kemaslahatan umum, dan pelanggaran-pelanggaran. Sedangkan jenis dan hukumannya, bergantung pada keputusan hakim.

Qishash adalah balasan yang sepadan, yaitu hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku seperti perbuatan yang telah dilakukan kepada korban.

Diyat adalah ganti rugi akibat dari suatu perbuatan pidana. Misalnya orang yang membunuh dengan tidak sengaja dihukum dengan diyat berupa memerdekakan hamba sahaya dan membayar 100 ekor unta kepada keluarga korban.

9.2 Peradilan

9.2.1 Peradilan

Hukuman-hukuman yang akan diberikan kepada seseorang yang melanggar aturan-aturan yang telah ditentukan, tentu harus melalui suatu lembaga peradilan karena lembaga peradilan inilah yang menyidangkan perkara-perkara.

Dalam fikih Islam kita menemukan bahwa suatu perkara dapat digelar apabila ada dakwaan yang memenuhi ketentuan. Dakwaan adalah sesuatu yang menghubungkan kepada diri sendiri hak atas sesuatu yang ada pada orang lain atau dalam tanggungan orang lain. Dakwaan diakui apabila dikuatkan dengan ikrar (pengekuan), kesaksian, sumpah atau dokumen yang sah. Ikrar ialah pengakuan terhadap apa yang didakwakan dan ini merupakan dalil yang paling kuat untuk menetapkan dakwaan.Kesaksian adalah pemberitahuan seseorang terhadap sesuatu yang dia ketahui. Hal-hal ini tentu harus diperhatikan sebelum menentukan suatu keputusan. Itulah sebabnya, dalam menetapkan hukuman pidana, peradilan Islam sangat hati-hati. Kesalahan dalam penetapan hokum dapat berakibat kerugian (intuk hukuman diyat) kecacatan (untuk hukuman potong tangan) bahkan kematian seseorang (untuk hukuman rajam atau qisash)

9.3 Pelaksanaan Hukuman atau Eksekusi

9.3.1 Pelaksanaan Hukuman atau Eksekusi

Apabila pengadilan telah menetapkan hukuman bagi para pelaku, pelaksanaan hukuman dilakukan segera. Ketentuan hukuman itu dilaksanakan secara terbuka, disaksikan orang banyak setelah selesai shalat jum’at. Hal ini dimaksudkan untuk menjadi pelajaran bagi seluruh masyarakat tentang hukuman bagi seluruh masyarakat tentang hukuman bagi para pelaku kejahatan. Dengan demikian, tidak ada lagi orang yang mencoba meniru atau mengulangi perbuatan jahat.

9.4 Hikmah Peradilan

9.4.1 Hikmah Peradilan

Kejahatan merupakan penyakit masyarakat yang harus diperangi, dengan membebani hukuman yang berat. Hukuman ini dimaksudkan supaya masyarakat terkesan sehingga anggota masyarakat yang hendak melakukan kejahatan berpikir kembali karena takut terkena hukuman yang berat itu. Dengan demikian hukum berdampak bagi pendidikan masyarakatnya.

Tugas

Dalam bab VIII ini, ada satu tugas membuat karya ilmiah yang sesuai dengan pokok bahasan dan sub pokok bahasan yang diberikan kepada mahasiswa yang mengikuti perkuliahan. Tugas ini harus disajikan dalam satu kali pertemuan berbentuk makalah.

10.1 Kedudukan Akal, Wahyu, dan Hubungannya dengan Agama

10.1.1 Kedudukan Akal, Wahyu, dan Hubungannya dengan Agama

Menurut para filosof, akal mengandung arti daya untuk memperoleh pengetahuan, membuat seseorang dapat membedakan antara dirinya dan benda lain dan antara benda yang satu dari yang lain. Akal dalam pengertian Islam adalah daya berpikir yang terdapat dalam jiwa manusia: daya, yang memperoleh pengetahuan dengan memperhatikan alam sekitarnya. Akal menjadi faktor utama yang menempatkan manusia pada kedudukan yang lebih mulia dibandingkan makhluk Allah lainnya. Dengan akal manusia dapat mengembangkan ilmu pengetahuan sehingga terwujud kebudayaan.

Al-Qur’an menempatkan akal pada posisi penting dengan banyaknya ayat yang mendorong manusia menggunakan akalnya dalam berbagai ungkapan lain dengan menggunakan kata nadzara, tadabbara, tafakkara, faqiha, tadzakkara, fahima, dan sebagainya. Ungkapan-ungkapan ini mengandung isyarat penempatan akal sebagai faktor yang penting dalam kehidupan seorang muslim.

Berbeda dengan akal, wahyu pada dasarnya berasal dari bahasa Arab, yakni al-wahy, yang artinya suara, api, dan kecepatan, bisikan, isyarat dan tulisan. Wahyu juga berarti pemberitahuan secara tersembunyi dan cepat. Pemberitahuan dimaksud datang dari luar diri manusia, yaitu Tuhan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa wahyu adalah penyampaian sabda Tuhan kepada pilihannya agar diteruskan kepada umat manusia untuk dijadikan pegangan hidup.

Dengan demikian jelas bahwa akal dan wahyu memiliki kedudukan yang utama dalam ajaran agama, terutama agama Islam. Kedudukan akal dan wahyu itu sudah diatur dalam al-Qur’an dan hadits yang menjadi sumber pokok hukum Islam.

10.2 Klasifikasi Ilmu dalam Agama

10.2.1 Klasifikasi Ilmu dalam Agama

Akal menjadi faktor utama yang melahirkan pengetahuan, baik yang dilahirkan dalam diri manusia sendiri, maupun pengetahuan yang datang dari Tuhan. Al-Ghazali mencoba mengklasifikasikan ilmu dalam empat sistem, yaitu:

1. Pembagian ilmu atas dasar teoritis dan praktis

2. Pembagian atas dasar yang dihadirkan dan dicapai

3. Pembagian atas dasar religius dan intelektual

4. Pembagian atas dasar kewajiban individu (fardu ‘ain) dan kewajiban umat (fardu kifayah).

Yang paling menonjol dari keempat basis keilmuan itu adalah pembagian ilmu yang religius dan intelektual serta pembagian ilmu yang fardu ‘ain dan fardu kifayah. Ilmu religius terdiri atas:

1. Ilmu tentang prinsip-prinsip dasar (al-ushul), yaitu:

a. Ilmu tentang keesaan Ilahi

b. Ilmu tentang kenabian

c. Ilmu tentang akhirat atau eskatologi

d. Ilmu tentang sumber pengetahuan religius

2. Ilmu tentang cabang-cabang (furu’) atau prinsip-prinsip turunan, yaitu:

a. Ilmu tentang kewajiban manusia kepada Tuhan

b. Ilmu tentang kewajiban manusia kepada masyarakat

c. Ilmu tentang kewajiban manusia kepada jiwanya sendiri, yaitu ilmu yang membahas kualitas moral (akhlak).

Ilmu-ilmu intelektual, terdiri dari:

1. Matematika

2. Logika

3. Fisika

4. Ilmu-ilmu tentang wujud di luar alam atau metafisika

Dari uraian di atas, nampak bahwa Islam tidak memisahkan antara ilmu agama dan ilmu pengetahua umum. Keduanya merupakan bagian dari Islam yang harus dikuasai oleh setiap orang dalam rangka memerankan dirinya sebagai khalifah di muka bumi ini. Begitupun denga jaran agama lain juga tidak membedakan antara pengetahuan umum dengan pengetahuan agama karena kedua-duanya menjadi syarat untuk dapat hidup dan berkembang dalam kehidupan yang semakin berkembang dari zaman-ke zaman

0 komentar :

Post a Comment

Jika Anda rasa Artikel ini bermanfaat silahkan kalau mau di Copy Paste Tapi Ingat melampirkan Sumbernya ya! http://axvero.blogspot.com dan Jika anda berkenan silahkan tinggalkan komentar meskipun hanya 1 kata. kata-kata yang anda tulis sangat berarti bagiku.